Rabu, 30 April 2014

Kampung Adat



PERANAN BUDAYA KAMPUNG ADAT
CIREUNDEU

I.                   PENDAHULUAN

Salah satu pendekatan dalam upaya memahami manusia yang telah banyak ditampilkan oleh sementara pakar adalah manusia dikembalikan ke dalam dunia makronya (annimal kingdom). Manusia secara fisik dan mental mengembangkan sumber daya insani, mewariskan nilai-nilai budaya dan menentukan masa depan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa.
Pada hakekatnya masyarakat tak lain dari pada orang-orang atau kelompok orang yang hidup bersama yang mampu menghasilkan, memelihara dan mengembangkan berbagai sistem nilai, yang dikemas ke dalam konsep yang disebut kebudayaan.
Kebudayaan adalah monopoli makhluk manusia yang memiliki sejumlah predikat atau sebutan, antara lain manusia. Konsep kebudayaan bisa lebih spesifik manakala dilihat dari dimensi isinya dengan acuan konsep yang berkenaan dengan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal, yang artinya bahwa unsur-unsur yang ada dan dimiliki oleh setiap kelompok ke kelompok.
Kebudayaan yang ada di Indonesia sangatlah banyak, sedikitnya 43 dari 293 budaya Jawa Barat yang sudah terinventarisasi dinyatakan punah. Karena adanya banyak kebudayaan sehingga manusia itu sendiri membentuk suatu kelompok yang mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda, tetapi ada juga yang membentuk suatu kelompok didalamnya merupakan suatu masyarakat yang memiliki adat dan budaya yang khusus berlaku di daerah kehidupan kelompok tersebut, seperti cara memngkonsumsi makanan pokoknya, kehidupannya, bergaulnya dan juga agama dan ras yang berbeda dengan sosial budaya biasanya, suatu kelompok masyarakan yang memiliki kehidupan yang berbeda terutama dalam hal :
1.      Sistem religi dan upacara keagamaan
2.      Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3.      Sistem pengetahuan
4.      Bahasa
5.      Kesenian
6.      Sistem mata pencaharian hidup
7.      Sistem teknologi dan peralatan.
Maka dari itu kami akan menguraikan dalam bab pembahasan mengenai unsur-unsur universal kebudayaan di atas yang terdapat di budaya adat kampung Cireundeu yang bertempat di Cimahi Selatan.

II.                PEMBAHASAN
BUDAYA KAMPUNG ADAT CIREUNDEU
Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat herbal.  Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terdiri dari 70 kepala keluarga atau 320 jiwa yang terdiri dari 1 RW, 5 RT, yang sebagia besar bermata pencaharian bertani ketela. Kampung Adat Cireundeu sendiri memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman. Sebagian besar penduduknya memeluk dan memegang teguh kepercayaan  Sunda Wiwitan hingga saat ini. Selalu konsisten dalam menjalankan ajaran kepercayaan serta terus melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah turun-temurun dari nenek moyang mereka. Maka pemerintah menetapkan Kampung Adat Cireundeu sebagai kampung adat yang sejajar dengan Kampung Naga (Tasikmalaya), Kaepuhan Cipta Gelar (Banten, Kidul, Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Urug (Bogor), Kampung Mahmud (Bandung), dan kampung adat lainnya.
Description: http://kampungadatcireundeu.files.wordpress.com/2011/07/dsc09379.jpg?w=168&h=300Description: D:\sekolah LPMM RI\Kp. Adat Cirende\IMG-20130601-01578.jpg
Pintu Masuk Kampung adat Cireundeu
Masyarakat adat Cireundeu sangat memegang teguh kepercayaannya, kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand phone, dan penerangan. Masyarakat ini punya konsep kampung adat yang selalu diingat sejak zaman dulu, yaitu suatu daerah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
  1. Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.
  2. Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
  3. Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbi-umbian.
Sistem religi dan upacara keagamaan
Masyarakatnya masih menganut kepercayaan yang disebut dengan Sunda Wiwitan. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan mengendung arti Sunda yang paling awal. Bagi mereka, agama bukan sarana penyembahan namun sarana yang harus diaplikasikan dalam kehiduapan. Mereka masih memegang teguh tradisi turun-temurun. Pangeran Madrais diakui sebagai pemimpin/imam mereka. Ia menganut kepercayaan Sunda Wiwitan tersebut. Ia jugalah yang dianggap sebagai nenek moyang warga Kampung Adat Cireundeu.
Esensi ajaran Pangeran Madrais adalah pembangunan jati diri bangsa yang berkorelasi dengan kecintaan pada tanah air. Istilah tanah air disebutnya sebagai tanah amparan. Disinilah terletak perbedaan mendasar antara Sunda Wiwitan dengan agama-agama yang diintroduksi dari luar Nusantara. Tampak kentalnya nilai-nilai kebangsaan dan kemandirian budaya dalam ajarannya.
Sistem dan organisasi kemasyarakatan
Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Seorang sosiolog terkemuka yaitu Pitirim A. Sorokin (J.D. Douglas, 1981:83) menyatakan bahwa sistem berlapis-lapis merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur, seperti yang terjadi pada desa. Hal tersebut menyebabkan stratifikasi sosial yang  melekat pada desa. Stratifikasi sosial dapat dipengaruhi oleh kekuasaan dan peran yang terdapat dalam kedudukan sosial seseorang. Faktor-faktor yang menjadi ukuran atau kriteria sebagai dasar pembentukan dasar pelapisan sosial yaitu, ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan dan wewenang, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan. Kedudukan sosial merupakan tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya yang berhubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga Kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara, sebagaian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya, makanan pokonya nasi yang terbuat dari singkong atau di kenal dengan nama “Rasi” atau beras singkong, bahkan divervikasi produk makanan yang berbahan dasar singkong tersedia di kampung ini.
Kampung Cireundeu adalah salah satu model kampung yang sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari hari, singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari kerisis pangan yang terjadi sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung ciereundeu dapat di buat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh yang dapat di implementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata program ketahanan pangan. Bentuk sistem kekerabatan masyarakat desa merupakan refleksi dari bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenunya. Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial. Keempat bentuk pokok dari interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi.
Gillin dan Gillin (Robert K. Merton, 1964:71)mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial : Kerja Sama (Cooperation) Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.
Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/perorangan lainnya.
Fungsi Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley ”kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”.
Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan :
-       Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang sertamerta.
-        Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa.
-        Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu.
-        Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
 Akomodasi (Accomodation) Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujuk pada suatu keadaan dan untuk menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.

Sistem pengetahuan
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dan seterusnya.
Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi anatara kelompok tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial hanya berlangsung antara pihak-pihak apabila terjadi reaksi terhadap dua belah pihak. Interaksi sosial tak akan mungkin teradi apabila manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya, sebagai akibat hubungan termaksud.
Interaksi sosial menjelaskan proses pembentukan nilai, norma, dan adat. Proses ini tak lepas dari pewarisan kelompok manusia atau masyarakat yang menjadi pendahulunya. Tetapi mereka tidat menutup kemungkinan dengan datangnya pengaruh teknologi, mereka menerima adanya pembaharuan dan teknologi untuk masuk ke kampung adat inilah yang membedakan dengan kampung adat lainnya. Banyak anak cucu mereka yang sudah berhasil dan menjadi Sarjana.

Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan untuk sehari hari adalah dengan menggunakan bahasa sunda wiwitan sebagai alat komunikasi antar manusia dan sebagai alat pengantar mereka dalam pergaulan dan bersosialisasi.
Kesenian
Masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi memenuhi rukun Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap sebagai pemimpin atau imam, kata Undang Ahmad Darsa yang juga banyak menulis buku tentang sejarah dan perkembangan Sunda.
Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan masih eksis bertahan dan memiliki penganut setia di di Kampung Cireundeu. Namun dari segi keunikannya, warga kampung ini masih mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok dan mayoritas masih menjalankan ajaran Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan itu. Secara fisik Cireundeu memang kampung biasa, namun karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan secara de facto sebagai kampung adat.
Kepercayaan ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah. Falsafah hidup masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu, dan mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit.
“Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup lain rasakan”. Selain itu masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong. Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara, sebagian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya .
Sistem mata pencaharian hidup
Bahwa sebagian besar warganya mengonsumsi beras singkong atau rasi sebagai makanan pokok dihasilkan dari ampas singkong racun (karikil) yang telah diambil acinya.
Sebelum menentukan singkong kerikil sebagai bahan pilihan makanan pokok mereka, para warga masyarakat telah mencoba berbagai jenis bahan makanan, seperti jagung (Zea mays), hanjeli (Coix lacryma-jobi), talas (Colocasia esculenta), ganyol (Canna edulis), dan sorgum (Sargum bicolor). Dalam mengonsumsi singkong, mulanya mereka hanya merebus. Belakangan mereka menemukan keterampilam untuk membuat bahan mirip nasi dari bahan singkong racun.
Keunikan inilah yang menjadi dasar mengapa Kampung Adat Cireundeu dipilih sebagai lokasi penerapan program Desa Wisata Ketahanan Pangan (Dewitapa). Saat ini, warga Kampung Adat Cireundeu --terutama para ibu-- mengembangkan kemampuan mereka untuk mengolah bahan baku singkong racun menjadi berbagai penganan yang banyak diminati orang.
Sistem teknologi dan peralatan.
Dengan pengolahan lahan untuk menanam singkong. Untuk menjaga kesuburan lahan, pengolahan lahan yang digunakan untuk tanaman singkong. Penanaman singkong dilakukan secara berjangka. Dalam satu lahan yang luas, dibagi menjadi beberapa bagian dengan luas yang sama. Jarak tanam antarpohon diusahakan tidak terlalu sempit, yaitu kurang lebih 50 cm.
Penanaman bibit singkong (stek) diawalai pada lahan bagian pertama. Setelah penananaman pada bagian pertama selesai, akan dilanjutkan dengan pengolahan lahan bagian kedua. Pada lahan kedua ini pun dilakukan hal yang sama seperti pada lahan pertama, begitu seterusnya, sampai semua lahan yang digarap selesai ditanami singkong.
Selama menunggu waktu panen, petani akan kembali ke lahan pertama kali diolah, untuk memberisihkan tanaman-tanaman yang tumbuh liar di sekitar tanaman singkong tersebut. Pengolahan lahan dan penanaman singkong pada satu lahan memerlukan waktu sekitar satu bulan. Olah tanam seperti ini dilakukan karena dengan cara perti itu –sesuai dengan pengalaman mereka- hasil yang diperoleh lebih berkualitas. Kandungan aci dalam singkong akan lebih baik.
Setelah usia satu tahun, petani akan mulai memanen singkong tersebut dengan bantuan saudara-saudaranya atau pun anak lelakinya. Setelah panen. Lahan tersebut diistirahatkan terlebih dahulu selama tiga bulan. Tujuannya adalah agar unsur hara dalam tanah dapat kembali subur. Sambil menunggu diistirahatkan petani kemudian akan menanam singkong di lahan lainnya sampai panen selesai. Setelah kurang lebih tiga bulan masa diistirahatkannya lahan pertama, kemudian petani akan menggarap dan mengolah lahan selanjutnya dan menanaminya kembali begitu seterusnya.
Dari keunikan-keunikan yang dimilikinya itu, Kampung Adat Cireundeu memiliki apa yang disebut dengan kearifan lokal. Dari sisi nilai, kearifan lokal merupakan kekayaan yang patut dirawat. Pertanyaannya adalah dapatkan segala keunikan ini dijadikan kekayaan yang terus kepertahankan? Perlukah keunikan-keunikan tersebut ditularkan untuk warga kampung lain dalam rangka program ketahan pangan?
Keunikan inilah yang menjadi dasar mengapa Kampung Adat Cireundeu dipilih sebagai lokasi penerapan program Desa Wisata Ketahanan Pangan (Dewitapa). Saat ini, warga Kampung Adat Cireundeu --terutama para ibu-- mengembangkan kemampuan mereka untuk mengolah bahan baku singkong racun menjadi berbagai penganan yang banyak diminati orang.


“Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat”

Oleh-Oleh Khas Cireundeu

Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan ketela mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras singkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan aneka kue berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit, daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk dikonsumsi sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan.

III.             SIMPULAN

Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan “silih asah,  silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu, yaitu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare. Teu nanaon teu boga pare ge asal boga beas  Teu nanaon teu boga bias ge asal bisa ngejo Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup.”
Masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi memenuhi rukun Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap sebagai pemimpin atau imam.
Meskipun kampung Cireundeu dinobatkan sebagai salah satu kampung adat yang ada di Jawa Barat, tetapi  mereka tidak pernah menutup diri dari perkembangan teknologi. Bisa di bilang kampung Cireundeu adalah Kampung Adat yang fleksibel. Dalam batasan-batasan tertentu mereka  secara terbuka menerima teknologi di tengah-tengah kehidupannya, tanpa melupakan adat para leluhurnya. Bagi mereka menjaga apa yang telah diwariskan oleh para leluhurnya, bukan berarti tidak boleh bergaul dengan yang lainnya. Apalagi sampai menutup diri dari perkembangan Zaman. Sehingga sampai pada saat ini gaya hidup masyarakat Kampung Cireundeu bisa dikategorikan pada gaya hidup yang modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar