PERANAN BUDAYA KAMPUNG ADAT
CIREUNDEU
I.
PENDAHULUAN
Salah
satu pendekatan dalam upaya memahami manusia yang telah banyak ditampilkan oleh
sementara pakar adalah manusia dikembalikan ke dalam dunia makronya (annimal
kingdom). Manusia secara fisik dan mental mengembangkan sumber daya insani,
mewariskan nilai-nilai budaya dan menentukan masa depan manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai bangsa.
Pada
hakekatnya masyarakat tak lain dari pada orang-orang atau kelompok orang yang
hidup bersama yang mampu menghasilkan, memelihara dan mengembangkan berbagai
sistem nilai, yang dikemas ke dalam konsep yang disebut kebudayaan.
Kebudayaan
adalah monopoli makhluk manusia yang memiliki sejumlah predikat atau sebutan,
antara lain manusia. Konsep kebudayaan bisa lebih spesifik manakala dilihat
dari dimensi isinya dengan acuan konsep yang berkenaan dengan unsur-unsur
kebudayaan yang bersifat universal, yang artinya bahwa unsur-unsur yang ada dan
dimiliki oleh setiap kelompok ke kelompok.
Kebudayaan
yang ada di Indonesia sangatlah banyak, sedikitnya 43 dari 293 budaya Jawa
Barat yang sudah terinventarisasi dinyatakan punah. Karena adanya banyak
kebudayaan sehingga manusia itu sendiri membentuk suatu kelompok yang mempunyai
kebiasaan yang berbeda-beda, tetapi ada juga yang membentuk suatu kelompok
didalamnya merupakan suatu masyarakat yang memiliki adat dan budaya yang khusus
berlaku di daerah kehidupan kelompok tersebut, seperti cara memngkonsumsi
makanan pokoknya, kehidupannya, bergaulnya dan juga agama dan ras yang berbeda
dengan sosial budaya biasanya, suatu kelompok masyarakan yang memiliki
kehidupan yang berbeda terutama dalam hal :
1. Sistem
religi dan upacara keagamaan
2. Sistem
dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem
pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem
mata pencaharian hidup
7. Sistem
teknologi dan peralatan.
Maka
dari itu kami akan menguraikan dalam bab pembahasan mengenai unsur-unsur
universal kebudayaan di atas yang terdapat di budaya adat kampung Cireundeu
yang bertempat di Cimahi Selatan.
II.
PEMBAHASAN
BUDAYA KAMPUNG ADAT
CIREUNDEU
Cireundeu berasal dari nama “pohon
reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi pohon
reundeu. pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat herbal.
Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. Kampung Adat Cireundeu
terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terdiri dari 70
kepala keluarga atau 320 jiwa yang terdiri dari 1 RW, 5 RT, yang sebagia besar
bermata pencaharian bertani ketela. Kampung Adat Cireundeu sendiri memiliki
luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman.
Sebagian besar penduduknya memeluk dan memegang teguh kepercayaan Sunda
Wiwitan hingga saat ini. Selalu konsisten dalam menjalankan ajaran kepercayaan
serta terus melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah turun-temurun dari
nenek moyang mereka. Maka pemerintah menetapkan Kampung Adat Cireundeu sebagai
kampung adat yang sejajar dengan Kampung Naga (Tasikmalaya), Kaepuhan Cipta
Gelar (Banten, Kidul, Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Urug (Bogor),
Kampung Mahmud (Bandung), dan kampung adat lainnya.
Pintu
Masuk Kampung adat Cireundeu
Masyarakat adat Cireundeu sangat memegang teguh
kepercayaannya, kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki prinsip “Ngindung
Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah
kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan
masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat
Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi
mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand
phone, dan penerangan. Masyarakat ini punya konsep kampung adat yang selalu
diingat sejak zaman dulu, yaitu suatu daerah itu terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
- Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.
- Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
- Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbi-umbian.
Sistem religi dan upacara keagamaan
Masyarakatnya masih menganut
kepercayaan yang disebut dengan Sunda Wiwitan. Masyarakat Kampung Adat
Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan mengendung
arti Sunda yang paling awal. Bagi mereka, agama bukan sarana penyembahan namun
sarana yang harus diaplikasikan dalam kehiduapan. Mereka masih memegang teguh
tradisi turun-temurun. Pangeran Madrais diakui sebagai pemimpin/imam mereka. Ia
menganut kepercayaan Sunda Wiwitan tersebut. Ia jugalah yang dianggap sebagai
nenek moyang warga Kampung Adat Cireundeu.
Esensi ajaran Pangeran Madrais
adalah pembangunan jati diri bangsa yang berkorelasi dengan kecintaan pada
tanah air. Istilah tanah air disebutnya sebagai tanah amparan. Disinilah
terletak perbedaan mendasar antara Sunda Wiwitan dengan agama-agama yang
diintroduksi dari luar Nusantara. Tampak kentalnya nilai-nilai kebangsaan dan
kemandirian budaya dalam ajarannya.
Sistem
dan organisasi kemasyarakatan
Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai
oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap
dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau
perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan
berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Seorang sosiolog terkemuka yaitu Pitirim A. Sorokin (J.D. Douglas,
1981:83) menyatakan bahwa sistem berlapis-lapis merupakan ciri yang tetap dan
umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur, seperti yang terjadi pada desa.
Hal tersebut menyebabkan stratifikasi sosial yang melekat pada desa.
Stratifikasi sosial dapat dipengaruhi oleh kekuasaan dan peran yang terdapat
dalam kedudukan sosial seseorang. Faktor-faktor yang menjadi ukuran atau
kriteria sebagai dasar pembentukan dasar pelapisan sosial yaitu, ukuran
kekayaan, ukuran kekuasaan dan wewenang, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu
pengetahuan. Kedudukan sosial merupakan tempat seseorang secara umum dalam
masyarakatnya yang berhubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan
pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana
nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga Kampung, mencintai
lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara, sebagaian
masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya, makanan pokonya nasi yang
terbuat dari singkong atau di kenal dengan nama “Rasi” atau beras singkong,
bahkan divervikasi produk makanan yang berbahan dasar singkong tersedia di
kampung ini.
Kampung Cireundeu adalah salah satu model kampung yang sebagian besar
penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan
pokok sehari hari, singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan
warganya dari kerisis pangan yang terjadi sampai saat ini belum pernah terjadi
kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung
ciereundeu dapat di buat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat
dijadikan sebagai contoh yang dapat di implementasikan di daerah lain sebagai
bukti nyata program ketahanan pangan. Bentuk sistem kekerabatan masyarakat desa
merupakan refleksi dari bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama
(cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga
berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin
akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan
dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Ini berarti
kedua belah pihak belum tentu puas sepenunya. Suatu keadaan dapat dianggap
sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial. Keempat bentuk pokok dari
interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan suatu kontinuitas, di dalam
arti bahwa interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi
persaingan serta memuncak menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada
akomodasi.
Gillin dan Gillin (Robert K. Merton, 1964:71)mengadakan penggolongan yang
lebih luas lagi. Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul
sebagai akibat adanya interaksi sosial : Kerja Sama (Cooperation)
Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk
mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut
berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama
dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai
manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian
kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian
tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya
dapat terlaksana dengan baik.
Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya
(yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan
out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang
menyinggung anggota/perorangan lainnya.
Fungsi Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley ”kerjasama timbul
apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama
dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian
terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut;
kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi
merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”.
Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang
biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama tersebut lebih
lanjut dibedakan lagi dengan :
- Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang
sertamerta.
- Kerjasama Langsung (Directed Cooperation)
: Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa.
- Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation)
: Kerjasama atas dasar tertentu.
- Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation)
: Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
Akomodasi (Accomodation) Istilah Akomodasi
dipergunakan dalam dua arti : menujuk pada suatu keadaan dan untuk menujuk pada
suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam
interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam
kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia
untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai
kestabilan.
Sistem
pengetahuan
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila
orang-perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan
sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila
ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang telah
ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara pelbagai
segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan
politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dan seterusnya.
Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena
tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bentuk umum
proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan sebagai proses
sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial
yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi anatara
kelompok tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi
anggota-anggotanya.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam
masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi benturan antara
kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial hanya
berlangsung antara pihak-pihak apabila terjadi reaksi terhadap dua belah pihak.
Interaksi sosial tak akan mungkin teradi apabila manusia mengadakan hubungan
yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem
syarafnya, sebagai akibat hubungan termaksud.
Interaksi sosial menjelaskan proses pembentukan nilai, norma, dan adat.
Proses ini tak lepas dari pewarisan kelompok manusia atau masyarakat yang
menjadi pendahulunya. Tetapi mereka tidat menutup kemungkinan dengan datangnya
pengaruh teknologi, mereka menerima adanya pembaharuan dan teknologi untuk
masuk ke kampung adat inilah yang membedakan dengan kampung adat lainnya.
Banyak anak cucu mereka yang sudah berhasil dan menjadi Sarjana.
Bahasa
Bahasa
yang mereka gunakan untuk sehari hari adalah dengan menggunakan bahasa sunda
wiwitan sebagai alat komunikasi antar manusia dan sebagai alat pengantar mereka
dalam pergaulan dan bersosialisasi.
Kesenian
Masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka
penganut Sunda Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling
awal dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam
kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan
situs-situs penyembahan. Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek
moyang masyarakat Cireundeu mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia
benar-benar pergi memenuhi rukun Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena
dianggap sebagai pemimpin atau imam, kata Undang Ahmad Darsa yang juga banyak
menulis buku tentang sejarah dan perkembangan Sunda.
Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan
masih eksis bertahan dan memiliki penganut setia di di Kampung Cireundeu. Namun
dari segi keunikannya, warga kampung ini masih mengonsumsi singkong sebagai
makanan pokok dan mayoritas masih menjalankan ajaran Pangeran Madrais dari
Cigugur, Kuningan itu. Secara fisik Cireundeu memang kampung biasa, namun
karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan
secara de facto sebagai kampung adat.
Kepercayaan ini dikenal juga sebagai
Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais
atau agama Cigugur. Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan
serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah. Falsafah hidup
masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu, dan mereka
masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini.
Ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari
falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya,
memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup
berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan,
hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit.
“Karena itulah manusia harus mengenal
dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa
yang orang lain dan mahluk hidup lain rasakan”. Selain itu masyarakat Cireundeu
menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong.
Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana
maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung
memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena
singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi
kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap
insan warga kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih
terjaga dan terpelihara, sebagian masyarakatnya masih mempertahankan adat
leluhurnya .
Sistem mata pencaharian hidup
Bahwa sebagian besar warganya
mengonsumsi beras singkong atau rasi sebagai makanan pokok dihasilkan dari
ampas singkong racun (karikil) yang telah diambil acinya.
Sebelum menentukan singkong kerikil sebagai bahan pilihan makanan pokok mereka, para warga masyarakat telah mencoba berbagai jenis bahan makanan, seperti jagung (Zea mays), hanjeli (Coix lacryma-jobi), talas (Colocasia esculenta), ganyol (Canna edulis), dan sorgum (Sargum bicolor). Dalam mengonsumsi singkong, mulanya mereka hanya merebus. Belakangan mereka menemukan keterampilam untuk membuat bahan mirip nasi dari bahan singkong racun.
Sebelum menentukan singkong kerikil sebagai bahan pilihan makanan pokok mereka, para warga masyarakat telah mencoba berbagai jenis bahan makanan, seperti jagung (Zea mays), hanjeli (Coix lacryma-jobi), talas (Colocasia esculenta), ganyol (Canna edulis), dan sorgum (Sargum bicolor). Dalam mengonsumsi singkong, mulanya mereka hanya merebus. Belakangan mereka menemukan keterampilam untuk membuat bahan mirip nasi dari bahan singkong racun.
Keunikan inilah yang menjadi dasar
mengapa Kampung Adat Cireundeu dipilih sebagai lokasi penerapan program Desa
Wisata Ketahanan Pangan (Dewitapa). Saat ini, warga Kampung Adat Cireundeu
--terutama para ibu-- mengembangkan kemampuan mereka untuk mengolah bahan baku
singkong racun menjadi berbagai penganan yang banyak diminati orang.
Sistem teknologi dan peralatan.
Dengan pengolahan lahan untuk
menanam singkong. Untuk menjaga kesuburan lahan, pengolahan lahan yang
digunakan untuk tanaman singkong. Penanaman singkong dilakukan secara
berjangka. Dalam satu lahan yang luas, dibagi menjadi beberapa bagian dengan
luas yang sama. Jarak tanam antarpohon diusahakan tidak terlalu sempit, yaitu
kurang lebih 50 cm.
Penanaman bibit singkong (stek)
diawalai pada lahan bagian pertama. Setelah penananaman pada bagian pertama
selesai, akan dilanjutkan dengan pengolahan lahan bagian kedua. Pada lahan
kedua ini pun dilakukan hal yang sama seperti pada lahan pertama, begitu
seterusnya, sampai semua lahan yang digarap selesai ditanami singkong.
Selama menunggu waktu panen, petani
akan kembali ke lahan pertama kali diolah, untuk memberisihkan tanaman-tanaman
yang tumbuh liar di sekitar tanaman singkong tersebut. Pengolahan lahan dan
penanaman singkong pada satu lahan memerlukan waktu sekitar satu bulan. Olah
tanam seperti ini dilakukan karena dengan cara perti itu –sesuai dengan
pengalaman mereka- hasil yang diperoleh lebih berkualitas. Kandungan aci dalam
singkong akan lebih baik.
Setelah usia satu tahun, petani akan
mulai memanen singkong tersebut dengan bantuan saudara-saudaranya atau pun anak
lelakinya. Setelah panen. Lahan tersebut diistirahatkan terlebih dahulu selama
tiga bulan. Tujuannya adalah agar unsur hara dalam tanah dapat kembali subur.
Sambil menunggu diistirahatkan petani kemudian akan menanam singkong di lahan
lainnya sampai panen selesai. Setelah kurang lebih tiga bulan masa
diistirahatkannya lahan pertama, kemudian petani akan menggarap dan mengolah
lahan selanjutnya dan menanaminya kembali begitu seterusnya.
Dari keunikan-keunikan yang
dimilikinya itu, Kampung Adat Cireundeu memiliki apa yang disebut dengan
kearifan lokal. Dari sisi nilai, kearifan lokal merupakan kekayaan yang patut
dirawat. Pertanyaannya adalah dapatkan segala keunikan ini dijadikan kekayaan
yang terus kepertahankan? Perlukah keunikan-keunikan tersebut ditularkan untuk
warga kampung lain dalam rangka program ketahan pangan?
Keunikan inilah yang menjadi dasar
mengapa Kampung Adat Cireundeu dipilih sebagai lokasi penerapan program Desa
Wisata Ketahanan Pangan (Dewitapa). Saat ini, warga Kampung Adat Cireundeu
--terutama para ibu-- mengembangkan kemampuan mereka untuk mengolah bahan baku
singkong racun menjadi berbagai penganan yang banyak diminati orang.
“Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare
Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu
Dahar Asal Kuat”
Oleh-Oleh Khas Cireundeu
Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan
ketela mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi
rasi (beras singkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan aneka
kue berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit, daunya
dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan ternak.
Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur
lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk dikonsumsi sendiri hasilnya juga
dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan.
III.
SIMPULAN
Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau
800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak
ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi
sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu
komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara
turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan
penuh kedamaian dan kerukunan “silih asah, silih asih, silih
asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka memegang teguh pepatah
Karuhun Cireundeu, yaitu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare.
Teu nanaon teu boga pare ge asal boga beas Teu nanaon teu boga bias
ge asal bisa ngejo Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu
bisa nyatu ge asal bisa hirup.”
Masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, Sunda
Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama
bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu
mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs
penyembahan. Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai
nenek moyang masyarakat Cireundeu mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia
benar-benar pergi memenuhi rukun Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena
dianggap sebagai pemimpin atau imam.
Meskipun kampung Cireundeu dinobatkan sebagai salah satu kampung adat
yang ada di Jawa Barat, tetapi mereka tidak pernah menutup diri dari
perkembangan teknologi. Bisa di bilang kampung Cireundeu adalah Kampung Adat
yang fleksibel. Dalam batasan-batasan tertentu mereka secara terbuka
menerima teknologi di tengah-tengah kehidupannya, tanpa melupakan adat para
leluhurnya. Bagi mereka menjaga apa yang telah diwariskan oleh para leluhurnya,
bukan berarti tidak boleh bergaul dengan yang lainnya. Apalagi sampai menutup
diri dari perkembangan Zaman. Sehingga sampai pada saat ini gaya hidup
masyarakat Kampung Cireundeu bisa dikategorikan pada gaya hidup yang modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar